Pajak merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh individu atau entitas perusahaan kepada negara, yang dikenakan secara wajib sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU), tanpa mendapatkan imbalan langsung, dan digunakan untuk keperluan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, menariknya, dalam ranah perpajakan, terdapat beberapa kelompok baik dari individu maupun badan usaha yang tidak terikat kewajiban membayar pajak. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, sebagai hasil turunan dari UU Hukum Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021, menetapkan sejumlah kelompok yang terbebas dari kewajiban pajak.
Di antara kelompok-kelompok tersebut, terdapat tiga kategori yang diizinkan untuk tidak membayar pajak, yang akan kami bahas lebih lanjut.
Pertama, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dengan pendapatan tahunan sebesar Rp 500 juta. Menurut penegasan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Suryo Utomo, UMKM yang memperoleh pendapatan sejumlah Rp 500 juta per tahun, tidak akan dikenakan pajak. Artinya, para pelaku usaha UMKM dengan pendapatan maksimal Rp 500 juta setahun tidak akan dikenai pajak PPh Final sebesar 0,5% dari peredaran bruto mereka. Kebijakan ini tercantum dalam PP Nomor 55 Tahun 2022 sebagai bagian dari penyesuaian aturan dalam bidang Pajak Penghasilan (PPh), yang merupakan turunan dari UU HPP Nomor 7 Tahun 2021. Meskipun demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tetap mendorong agar UMKM tersebut melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak mereka. Aturan ini berlaku selama 7 tahun sejak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) diterbitkan.
Kedua, mereka yang memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Berdasarkan PP Nomor 55 Tahun 2022 ini, individu yang pendapatannya kurang dari Rp 4,5 juta per bulan tidak akan dikenakan pajak. Ketentuan ini menegaskan bahwa PTKP yang berlaku saat ini tetap sebesar Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun. Individu yang menerima gaji di atas Rp 4,6 juta akan dikenakan pajak setiap tahunnya, dengan tarif pajak paling rendah sebesar 5%. Dengan demikian, individu yang menerima gaji sebesar Rp 5 juta per bulan atau Rp 60 juta per tahun akan mulai dikenakan pajak. Lebih lanjut, individu yang menerima gaji di bawah Rp 4,5 juta per bulan dapat tidak mengajukan SPT dengan syarat yang harus dipenuhi. Syarat untuk dapat bebas dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan adalah dengan mengajukan permohonan Non-Efektif (NE). Dengan menjadi kategori NE, wajib pajak tidak perlu menyampaikan SPT setiap tahunnya. Dari peraturan ini dapat disimpulkan bahwa wajib pajak yang masuk dalam kategori NE tidak diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan dan tidak akan menerima surat teguran meskipun tidak menyampaikan SPT mereka.
Selanjutnya, perhitungan tarif pajak untuk individu adalah sebagai berikut:
- Penghasilan hingga Rp 60 juta dikenakan tarif 5%.
- Penghasilan antara Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenakan tarif 15%.
- Penghasilan antara Rp 250 juta hingga Rp 500 juta dikenakan tarif 25%.
- Penghasilan antara Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar dikenakan tarif 30%.
- Penghasilan di atas Rp 5 miliar dikenakan tarif 35%.
Ketiga, pengusaha yang mengalami kerugian. Perusahaan atau badan usaha yang mengalami kerugian dikenakan pajak minimum jika pajak penghasilan yang diterima tidak melebihi 1% dari pendapatan bruto. Aturan ini diatur dalam revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Perusahaan yang dimaksud adalah badan usaha yang dalam satu tahun pajak mendapatkan pajak penghasilan tidak lebih dari 1% dari pendapatan bruto mereka. Wajib pajak badan dengan kriteria tertentu dikecualikan dari PPh minimum. Selain itu, ketika badan usaha tersebut diperiksa, PPh minimum akan diperhitungkan dalam penetapan pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan.
Tata cara penghitungan PPh minimum dan badan usaha dengan kriteria tertentu serta PPh minimum yang diperhitungkan diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan. Bahkan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 2 tentang Pajak Penghasilan Badan mengatur tentang kompensasi kerugian. UU ini menyatakan bahwa jika pendapatan bruto setelah dikurangi dengan pengurangan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) menghasilkan kerugian, kerugian tersebut dapat dikompensasi dengan pendapatan pada tahun pajak berikutnya, berturut-turut sampai dengan 5 tahun.
Dengan demikian, wajib pajak dapat menggunakan kerugian keuangan mereka untuk mengurangi keuntungan di tahun-tahun berikutnya, sehingga pajak yang terutang pada tahun-tahun tersebut menjadi lebih kecil atau bahkan tidak ada sama sekali. Dengan kata lain, kerugian keuangan perusahaan dapat dikompensasi dengan laba neto fiskal dimulai pada tahun pajak berikutnya, berturut-turut sampai dengan lima tahun berikutnya.